Senin, 31 Desember 2007

Jadikan Dirimu Sendiri yang Terbaik!

Senin, 31 Desember 2007
Jadikan Dirimu Sendiri yang Terbaik!

Bondan Winarno

Tiba-tiba saya menyesali keputusan untuk melewatkan pergantian tahun di tepi pantai indah di Bali. Makanan lezat dan minuman mewah tak berhenti mengalir. Musik lembut mengalun ditingkahi debur ombak. Perempuan gemerlap dan laki-laki wangi bercanda ria di sekitar.
Tiga tahun yang lalu, per- gantian tahun juga saya rayakan di lingkungan laut. Bedanya, ketika itu kami berada di geladak sebuah kapal perang, dalam perjalanan menuju Meulaboh, sebuah kota yang telah luluh lantak digempur tsunami. Ada sense of mission yang tebal di dada kami ketika itu. Tidak ada yang menyuruh saya berangkat ke Aceh, kecuali hati nurani sendiri.
Barangkali saya memang tidak sendiri terusik oleh perasaan seperti itu, begitu hibur saya. Perasaan penyesalan telah menikmati sesuatu ketika sebagian besar warga bangsa kita tengah menderita dan putus asa. Saya menuntut kesetaraan, tetapi mengapa saat ini saya menjadi bagian dari ketidaksetaraan? Saya tiba-tiba merasa tidak solider dengan amanat penderitaan rakyat.

Hilangnya kerelawanan

Barangkali, memang itulah elan vital yang telah hilang dari nurani kita. Gotong royong! Ke mana perginya dia? Kenapa kita semakin individualistis dan materialistis? Ke mana sikap dasar kerelawanan bangsa kita mengungsi?

Mana mungkin kegotongroyongan dan kerelawanan hidup di negeri yang melihat semakin lebarnya jurang antara kemiskinan dan kelimpahmewahan? Bukankah kegotongroyongan dan kerelawanan merupakan basis dari kesetaraan?

Ki Hajar Dewantara pernah berkata, "Tak mungkin akan tercipta kesetaraan bila elite tidak mencerminkan peradaban". Mungkin kalimat itu sebenarnya hanya sepenggal dari kalimat yang lengkapnya justru tidak diucapkannya. Bahwa bangsa yang beradab adalah bila elitenya juga beradab dan terdidik. Dengan kalimat lain yang lebih tidak sopan: elite yang tidak terdidik dan tidak mencerahkan justru menimbulkan kegelapan.

Kita berangsur-angsur telah menjadi bangsa yang sangat beragama. Tetapi, mengapa agama-agama yang indah itu ternyata juga gagal membangun karakter bangsa? Mengapa Departemen Agama justru merupakan salah satu sarang korupsi terbesar? Menurut saya, yang salah bukan agama. Yang salah adalah insan-insan yang bersembunyi di balik lembaga agama dan alpa bahwa tidak ada lembaga yang baik bila unsur-unsurnya tidak baik.

Lihat saja posisi kita di Indeks Pembangunan Manusia. Jelas sekali tampak bahwa kualitas kita sebagai sumber daya manusia secara rata-rata jauh tertinggal di belakang warga negara tetangga kita. Mana mungkin kita jadi bangsa yang unggul bila kita masing-masing ternyata adalah sumber daya manusia yang tidak terpilih?

Jangan tunggu pemerintah

Saya sungguh tidak menyebarkan sikap antipemerintah. Saya hanya ingin mengajak kita semua realistis menyikapi keadaan. Di alam modern, peran pemerintah memang harus menjadi semakin kecil karena masyarakat sudah mampu mengurus diri sendiri. Acap kali kita mengecilkan peran dan kemampuan swadaya masyarakat, lalu menyerahkan urusan-urusan yang sebetulnya urusan kita kepada pemerintah. Pemerintah sendiri sering tidak menyadari hakikat modern ini, dan merebut urusan masyarakat untuk diatur-atur.

Reformasi telah mengubah kita semua menjadi demokrat. Dalam alam demokrasi yang baru, kita telah memilih wakil rakyat di parlemen, presiden, gubernur, bupati, wali kota, bahkan lurah kita masing-masing. Tetapi, apa manfaatnya semua itu bagi kita? Apakah hidup kita telah menjadi lebih baik dengan kehadiran orang-orang yang kita pilih secara demokratis itu?

Kita telah membiarkan diri terjebak dalam prahara politik, dan karena itu kita telah kehilangan peluang untuk menentukan nasib kita sendiri. Mengapa kita biarkan kesejahteraan kita merosot? Mengapa kita izinkan kondisi keamanan dan ketertiban kita memburuk? Mengapa kita malah ikut serta dalam sistem yang membuat biaya pendidikan terus meroket?
Sangat boleh jadi kesalahannya terletak pada diri kita sendiri. Kita mengharap terlalu banyak dari pemerintah dan kaum elite politik, serta tidak melakukan apa-apa terhadap diri sendiri.

Kita tidak pernah mencocokkan apakah kita sudah tiba pada titik yang kita ingini dalam roadmap pribadi kita. Atau, jangan-jangan malah kita tidak punya roadmap pribadi itu. Kita terlalu pasrah menunggu sampai pemerintah mengubah nasib kita. Kalau pemerintah yang sekarang belum mampu, mungkin pemerintah yang akan datang bakal mampu mengubah nasib kita. Lha, bagaimana kalau tidak?

Jangan bermimpi, Saudaraku. Rebut kembali nasib Anda. Be your best! Tuntut dirimu sendiri menjadi yang terbaik. Gembleng dan kembangkan dirimu menjadi yang paling unggul. Jangan tunggu orang lain mengubah nasibmu. Nasib kita hanya ditentukan oleh diri kita sendiri, seberapa hebat kita tampil di kancah persaingan. Jangan tunggu pemerintah memperbaiki sistem pendidikan karena kita berkemampuan mendidik diri kita sendiri. Jangan tunggu pemerintah membasmi korupsi karena kita sendiri dapat mulai menjadi sel antikorupsi.
Be your best! Ya, itulah barangkali dogma (code of belief) yang perlu menjadi resolusi kita semua dalam memasuki tahun 2008 yang penuh tantangan. Pupuk kembali elan vital diri pribadi, dan bersama-sama membangun kembali karakter bangsa. Visi bangsa ini jangan hanya memakai ukuran-ukuran ekonomi, tetapi juga memakai ukuran spiritual. Elemen-elemen keadilan, keramahtamahan, dan kegotongroyongan harus menjadi bagian dari visi kesejahteraan, keamanan, dan kestabilan.

Be your best! Kalau Anda sekarang jadi tukang sapu, jadilah tukang sapu yang terbaik. Kalau hari ini Anda menjadi pengemudi taksi, jadilah pengemudi taksi yang terbaik pula. Jangan dong kita hanya bisa menuntut seorang presiden yang hebat kalau sebagai akuntan saja ternyata kita masih bersedia disuruh membuat pembukuan ganda dan mengemplang pajak.

Jadilah lilin di tengah kegelapan. Jadilah lilin yang mencerahkan. Biarlah angin dan badai berembus, asal kita mampu terus menyala. Karena, kalau kita tidak menyala, kita akan mati.
Lamat-lamat, terdengar musik lembut di benak saya. Liriknya ditulis oleh Bernie Taupin. Musiknya oleh Elton John. …Like a candle in the wind/ Never knowing who to cling to/ When the rain set in….

Selamat Tahun Baru, Saudara. Semoga 2008 bawa berkat.

Bondan Winarno Tukang Makan, Tinggal di Pinggiran Bogor

Minggu, 30 Desember 2007

NEO that I know


I looked at the opportunity to have something different from Adri's contemplation. He talked about the experience, insights and many things that he contemplated on his own.


I know, it needs a brave to express his believe and faith in a memorabilia. I would rather call that it is a daily notes of what Adri is expecting to extract something different that he got until his quarter of life.

NEO is a contemplation from someone that has mixture of feelings in his life. One's thoughts that wish to share to the public about what has happened on the writer's mind.

For those are viewing things from Adri's book to come and get together. Adri tried to act being himself and someone else in different settings. There are Neo, Toto, Marlon, Gadys and others.
Having different characters are not that simple but it is encouraging. He tried to understand himself by expressing something in different ways. He sets a free by having different character which I know it is a mode of releasing the things that in Adri's mind need to be elaborated.
First, It is Adri's second debute that mix up in between his wish and the things he is facing. His experiential learning now is working through his words.

Adri understands how difficult it is to explore detailed experience that he is experiencing.
The setting of the experiential learning
This is the second time of Adri's debute that reflects the rules of the game of a the-just-grown creature that is seeking the art of life.
Setting ceritanya dibuka dengan kehadiran pemuda Bogor yang mulai beranjak dewasa. Mulai menikmati kesibukannya sebagai seorang pegawai sebuah perusahaan dan tinggal dengan kawan lamanya semasa di sma dulu.

Tanggapan terhadap NEO:

Waduh, NEO indeed inspires me to write down something from the experience I face around my environment.

NEO reminds me to do something in the writing world.

NEO adalah gambaran diri yang dahaga akan sesuatu. Dahaga akan daya upaya mengekspresikan luapan emosi diri.

Adri menurutku sosok kreatif yang masih mencoba mencari bentuk melalui bait-bait tulisannya.
"Berani yang standar", Standardized bravery

Menurutku begitu. Keberanian-keberanian itu diungkapkan sebagai luapan emosi, curah pendapat dan pikiran mengekspresikan sesuatu secara gamblang yang kurang gamblang.

Keberanian itu harus senantiasa diasah dan diartikulasikan. Keberanian mengekspresikan sesuatu termasuk eksistensi dirinya harus menjadi bagian dari proses kreatif mencipta sesuatu.

Aku walaupun bukan penikmat seni menulis yang komprehensif, namun paham terhadap cita rasa berbahasa.
Dalam konteks ini, aku rasa Adri harus lebih banyak membaca dan membandingkan dalam mengekspresikan sesuatu untuk mengasah cita rasanya berbahasa.

Mengasah intuisi berekspresi agar matching antara istilah yang digunakan dengan konteks yang dipaparkan.

Hal 13:
Paragraf ke 2: Tapi ternyata … cintaku memang tak pernah sebanding dibanding uang
Redundancy. Solution:
Tapi ternyata … cintaku tiada banding walau dengan uang sekalipun

Hal 14
Paragraf 2 : Aku anak yang tak terpedulikan

Sounds the words are not matching one to another that it supposes be expressed as follow:

Aku anak yang terabaikan…

Nuansa
Nuansa bercerita lebih pada kemilaunya perkotaan dengan tokoh yang merasakan kesendirian di tengah hiruk pikuk kebisingan.

Kerinduan
Kerinduan untuk memperoleh "sesuatu" setidaknya kebersamaan dan seseorang yang menemani kesendiriannya.

Selanjutnya cerita berlanjut dengan munculnya tokoh-tokoh yang menurut penulis sendiri merupakan gabungan karakter dirinya sendiri dan orang lain.